BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi seorang muslim, iman adalah bagian yang paling
mendasar dari kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya,
perkataan iman menjadi bahan pembicaraan di setiap pertemuan keagamaan, yang
selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat.
Begitu pula setiap manusia tidak bisa menjalani kehidupan
yang baik atau mencapai sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradaban
manusia, tanpa memiliki keimanan atau keyakinan. Sebab, manusia yang tidak
memiliki keimanan akan menjadi manusia yang sepenuhnya hanya mementingkan diri
sendiri, ragu-ragu, goyah, dan tidak mengetahui tugas serta kewajibannya
sebagai hamba dalam kehidupan ini.
Itulah sebabnya, keimanan menjadi sesuatu yang sangat
berharga bagi seorang Muslim. Karenanya, ia menjadi modal utama agar dapat
menjalani kehidupan yang lurus, seperti yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT.
Sabda Rasulullah SAW tentang iman yaitu:
فأخبرني عن الإيمان. قال
رسول
الله صلى الله عليه وسلّم: "أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم
الآخر, وتؤمن بالقدر
خيره وشره".( رواه البخارى و المسلم )
Seseorang bertanya kepada Rasulullah,
“Kabarkan kepadaku tentang iman” Rasulullah menjawab “Iman itu ialah engkau
beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,
kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada qadha
dan qadar, yang baik dan yang buruk.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Iman bukanlah sekadar percaya dan membenarkan saja.
Kepercayaan dan pembenaran memerlukan pembuktian yang menunjukkan sah atau
tidaknya iman tersebut. Karena itu, iman yang sekedar melekat di hati bukanlah iman yang sempurna. Sebab,
iman berarti juga pengungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan amal
perbuatan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa tiang pokok
dari iman itu adalah membenarkan keberadaan Allah, malaikat, kitab, rasul, hari
akhir, dan ketentuan baik atau buruk yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia.
Seorang Mukmin adalah yang meyakini semua informasi, petunjuk, dan bimbingan
Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia melaksanakannya dengan berdasar atas iman dan
penghambaan kepada Allah SWT.
Keimanan
itu apabila telah menjadi suatu kenyataan yang sehebat-hebatnya, maka ia dapat
berubah dan beralih sehingga merupakan suatu tenaga atau kekuatan yang tanpa
dicari-cari akan datang dengan sendirinya dalam kehidupan ini, sebab keimanan
tadi akan mengubah manusia yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam sikap
dan kemauan, mengubah kekalahan menjadi kemenangan, keputus-asaan menjadi penuh
harapan dan harapan ini akan dicetuskan dalam perbuatan yang nyata.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang di maksud dengan hakekat keimanan?
2.
Apa
saja buah dari keimanan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah aqidah islamiyah tentang hakekat keimanan dan
buahnya.
2.
Agar
para mahasiswa mengerti apa itu hakekat keimanan dan buah dari keimanan
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKEKAT KEIMANAN
Iman menurut bahasa artinya percaya sedangkan iman
menurut istilah adalah Di ikrarkan dengan lisan, di benarkan dengan hati dan di
amalkan dengan perbuatan.
Iman
itu adalah kehidupan rohani dan jasmani, obat kebahagiaan, serta tempat
bergantungnya keselamatan di dunia dan akhirat. Iman dapat menimbulkan
ketenangan dalam hati, memberikan perasaan rela terhadap jiwa. Setiap kali
seorang hamba menanjak naik dalam tingkatan iman, setiap itu pula ia akan
mengenyam rasa iman, menemukan manisnya iman, sehingga jiwanya akan tertambat
padanya.
Keimanan kepada Allah swt itu merupakan hubungan yang semulia-mulianya
antara manusia dengan Dzat yang Maha Pencipta. Sebabnya yang sedemikian ini
ialah karena manusia adalah semulia-mulia makhluk Tuhan yang menetap diatas
permukaan bumi sedang semulia-mulia yang ada didalam tubuh manusia itu ialah
hatinya dan semulia-mulia sifat yang ada didalam hati itu adalah keimanan.Dari
segi ini dapatlah kita maklumi bahwasanya mendapatkan petunjuk sehimgga menjadi
manusia yang beriman, adalah seagung-agungnya kenikmatan yang dimiliki oleh
seseorang, juga semulia-mulia karunia Allah swt yang dilimpahkan kepada
hambaNya secara mutlak.Allah berfirman :
”Tetapi Allah
telah menimbulkan cintamu kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu perhiasan
dalam hatimu dan ditumbuhkan pula oleh Allah itu rasa kebencian dalam hatimu
terhadap kekufuran, kejahatan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang benar. Demikian itu adalah suatu karunia dan kenikmatan dari Allah”.[1]
Keimanan itu
bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari bibir dan lidah saja ataupun hanya
semacam keyakinan dalam hati belaka, tetapi keimanan yang sebenar-benarnya
adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati
nurani. Keimanan itu memang tidak mungkin dapat sempurna melainkan dengan rasa
cinta yang hakiki, yang senyata-nyatanya dan yang sebesar-besarnya.
Dalam sebuah
riwayat yang shahih disebutkanlah sabda Rasullulah s.a.w.demikian :
”Ada tiga
perkara yang barangsiapa sudah
memiliki ketiganya itu maka ia akan dapat merasakan kelezatan
nikmat keimanan yaitu :
1.Apabila Allah
dan Rasul nya itu lebih dicintai olehnya
dari pada yang selain
keduanya itu.
2.Apabila seseorang
itu mencintai orang lain dan tidaklah
mencintanya itu, melainkan karena Allah juga (mengharapkan keridhaan
Allah)
3.Apabila seseorang
itu benci untuk kembali kepada
kekafiran sebagaimana bencinya kalau dilemparkan kedalam api
neraka”.[2]
Hakikat
iman yang dibawa oleh Rasulullah SAW tegak berdiri di atas 3
pilar, jika salah satu darinya roboh, maka imanpun akan tumbang, 3 pilar atau
rukun itu adalah:
1.
Keyakinan
dalam hati.
2.
Pengucapan
dengan lisan,
3.
Pengamalan
dalam perbuatan.
1.
Rukun yang pertama (keyakinan dalam hati) meliputi dua hal yang harus
dipenuhi:
a. Ikrar dalam hati, yang dimaksud adalah pengakuan hati bahwa apa
yang dikabarkan Allah dan Rasul-Nya adalah haq, dan bahwa apa yang diputuskan
Allah dan Rasul-Nya adalah keadilan, hal itu tidak boleh dibarengi dengan
sedikitpun rasa keraguan.
b. Amalan hati, maksudnya segala sesuatu yang diwajibkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas hamba Nya dari amalan-amalan hati, seperti cinta
Allah dan Rasul-Nya, membenci kekufuran, orang kafir dan lainnya. Semua ini
masuk dalam amalan hati.
Dalil-dalil
yang menyatakan harus terpenuhinya keyakinan dalam hati cukup banyak, di
antaranya firman Allah swt :
“Orang-orang
Arab Badwi itu berkata:”Kami telah beriman”.Katakanlah (kepada mereka):”Kamu
belum beriman,tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum
masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.[3]
Dalam ayat
yang lain:
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka
itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung.”[4]
Perhatikanlaah
firman Allah : “Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka” di mana Allah menjadikan hati sebagai tempat
tertanamnya iman.
Dalil-dalil
di atas, juga yang lainnya menunjukkan bahwa iman yang ada pada hati adalah
pokok keimanan dan intinya, siapa yang menyepelekan keimanan hati, maka ia
tidak memiliki iman, bahkan ia termasuk orang munafiq.
2.
Rukun kedua, yaitu pengucapan dengan lisan,
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan tiada ilah yang
haq disembah melainkan Allah, jika mereka telah mengucapkannya berarti mereka
telah melindungi darah, dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya.”
(Muttafaqun alaihi)
Imam Nawawi
berkata memberi keterangan terhadap hadis ini: “Dalam hadis ada keterangan
bahwa iman disyaratkan harus diucapkan dalam bentuk syahadatain (dua kalimat
syahadat) disertai keyakinan terhadapnya.
”Ibn Taimiyah
mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa yang meninggal dunia
sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia mati kafir.”[5]
Yang dimaksud
dengan dua kalimat syahadat, bukan sekedar melafalkannya, akan tetapi harus
disertai dengan pembenaran terhadap semua makna yang terkandung di dalamnya,
meyakini secara lahir batin. Inilah syahadat yang akan bermanfaat bagi orang
yang mengucapkannya di sisi Allah.
3.
Sedangkan rukun ketiga; amal perbuatan,
Maksudnya adalah
mengerjakan segala sesuatu apa yang diperintahkan oleh Allah, serta
meninggalkan apa yang dilarang oleh Nya..
Firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”[6]
Allah
menyifati mereka dengan iman yang jujur karena mereka telah melakukan amal
shalih yang merupakan bukti (cerminan) dari amalan hati.
Di antaranya
juga firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya,
bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rejeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Rabbnya dan ampunan serta rejeki (nikmat) yang mulia.”[7]
Renungkanlah
bagaimana Allah menyifati mereka, bahwa mereka beriman dengan sebenar-benarnya
iman ketika mereka melakukan amal shalih, ini menunjukkan bahwa amal shalih
masuk dalam iman, bahkan merupakan bagian darinya.
Rasulullah SAW
bersabda:
“Aku
perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah semata, apakah kalian tahu apakah
iman kepada kepada Allah semata?” mereka menjawab: “Allah dan Rasul Nya lebih
tahu. Beliau bersabda: “Syahadat (bersaksi) bahwa tiada sesembahan yang haq
melainkan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyerahkan 1/5 dari
harta rampasan.” [8]
Nabi saw
menafisiri iman dalam hadis ini dengan amal shalih.
Inilah
hakikat iman, dan begitulah pilar-pilarnya, serta hubungan antara keimanan hati
dan keimanan dalam amal perbuatan yang merupakan hubungan keharusan, dalam arti
tidak mungkin seorang hamba mengaku beriman dalam hatinya, kemudian ia tetap
tidak mau mengerjakan amal shalih, tidak menahan diri dari yang mungkar. Ini
adalah pengakuan di samping tidak bermanfaat secara syara’, ia juga tidak
mungkin terjadi dalam tataran realita. Karena, orang yang hatinya sudah
terpatri dengan keimanan, otomatis akan teraplikasi dalam amal perbuatan,
terucap dalam kalimat syahadat.
Al-Hasan
al-Bashri berkata: “Iman itu bukanlah sekedar angan-angan tidak pula
sekedar khayalan, akan tetapi iman itu adalah sesuatu yang terpatri dalam
hati,dan dibenarkan dengan amal perbuatan.”
B.
BUAH-BUAH KEIMANAN
Buah-buah keimanan itu dapat disimpulkan di bawah uraian dibawah
:
1. Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain.
Sebab sifat itu timbul
ialah karena keimanan yang sebenar-benarnya itu akan memberikan kemantapan dalam
jiwa sesorang bahawa hanya Allah sajalah yang Maha
Kuasa untuk memberi kehidupan, mendatangkan kematian, memberikan ketinggian
kedudukan, menurunkan dari pangkat yang tinggi, juga hanya Dia sahaja yang
dapat memberikan kemudharatan atau kemanfaatan kepada seseorang manusia. Selain
Allah tidak ada yang kuasa melakukannya.
2. Keimanan yang hakiki itu dapat menimbulkan jiwa keberanian dan ingin terus maju karena membela kebenaran.
Kematian akan dianggap tidak berharga sama sekali, diremehkan dan
sebaliknya malahan akan dicarilah kematian secara syahid, demi untuk menuntut
tegaknya keadilan dan kejujuran serta hak.
Apakah
sebabnya jiwa kematian itu akan timbul? Sebabnya adalah kerana keimanan itu akan
mengajarkan bahwa yang kuasa memberikan umur itu tidak ada selain Allah Ta'ala,
sebagaimana Firman Allah:
“Keimanan itu akan menimbulkan keyakinan yang
sesungguh-sungguhnya bahwa hanya Allah jualah yang Maha Kuasa memberikan
rezeki, juga bahawa rezeki itu tidak dapat dicapai kerana kelobaannya orang
yang bersifat tamak dan tidak dapat pula ditolak oleh keengganannya orang yang
tidak menyukainya”.[9]
Firman
Allah Taala
"Tidak ada seekor binatang pun di atas muka
bumi ini, melainkan Allah yang menanggung rezekinya. Dia yang mengetahui
kediamannya serta tempat menyimpannya. Semua telah ditetapkan dalam kitab
(catatan) yang nyata."[10]
3. Ketenangan atau thuma'ninah adalah salah satu bekas daripada keimanan.
Yang dimaksudkan ialah ketenangan hati dan ketenteraman jiwa.
Sebagaimana firman Allah SWT
”Orang-orang yang beriman itu, hati mereka menjadi tenang karena mengingat (berzikir) kepada Allah. Ingatlah bahwa dengan mengingat Allah itulah hati akan menjadi tenang”.[11]
Jadi, bagi orang-orang yang beriman untuk
mendapatkan ketenangan hanya dengan menjalin komunikasi dengan Allah SWT lalu
berusaha untuk mengingat akan kebesarannya, ciptaannya, keagungannya, kasih
sayangnya serta apa saja yang melekat pada diri Robbil Izzati. Maka inilah suatu jawaban yang jitu untuk
menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan sisi dalam manusia.
4.
Keimanan itu akan
menimbulkan keyakinan yang
sungguh-sungguh bahwa hanya Allah Jualah yang Maha Kuasa memberikan rizki.
Allah berfirman :
”Allah mencukupi rizki kepada siapa yang dikehendaki
diantara hamba-hambaNya dan Dia pula yang membatasinya. Sesungguhnya Allah itu
MahaMengetahui segala
sesuatu”. [12]
5.
Kehidupan yang baik
, adil dan makmur
Kehidupan tersebut akan
dipercepatkan oleh Allah pelaksanaanya oleh seluruh kaum mukminin selagi mereka
ada di dunia ini sebelum mereka mengijak alam akhirat nanti.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat di simpulkan bahwa hakekat iman yang sesunggunya yakni
meyakini dalam hati, di ikrarkan dengan lisan dan di amalkan dengan amal
perbuatan. tidak
mungkin seorang hamba mengaku beriman dalam hatinya, kemudian ia tetap tidak
mau mengerjakan amal shalih, tidak menahan diri dari yang mungkar. Ini adalah
pengakuan di samping tidak bermanfaat secara syara’, ia juga tidak mungkin
terjadi dalam tataran realita. Karena, orang yang hatinya sudah terpatri dengan
keimanan, otomatis akan teraplikasi dalam amal perbuatan.
Dan jika mereka telah
mengaplikasikan keimanan tersebut maka ia akan mendapatkan buah atau manisnya
iman.
DAFTAR
PUSTAKA
Apalagi Karena penulis blog ini wanita, ana jadi saluut!
BalasHapus